Biarkan Aku Kembali

Suara ketukan jam dinding terdengar begitu mencekik, perlahan namun pasti menghabiskan malamku,
Tapi aku biarkan semuanya mengalir begitu saja dalam jam malam, karena mengingat kerasnya kehidupan,
Biarkan malam ini kupeluk sepi dalam diam.
Aku merindukan kedamaian yang pernah ku-rengkuh dulu,
Kuingat lagi semakin mendalam, tetapi yang kudapatkan dari ini hanya kehampaan,
Biarlah perasaan ini terus membuangku semakin jauh, menghujamku dengan jutaan meriam.

Waktu hanya tidak ingin aku kembali…

Ada sesuatu yang selalu membuatku rindu dengan tawa, canda, suka, maupun duka kita. Dulu.
Salahkah aku jika semua itu tiba-tiba terlintas di pikiranku begitu saja? Meskipun aku tidak ingin mengingatnya lagi, aku juga tidak ingin mengingat itu semua. Ini bukan mauku.
Mengingat setiap momen men-detail yang pernah kita jalani sebelum masa sekarang. Memunculkan kembali perasaan-perasaan itu, menggelitik hati untuk kembali membuat luka baru yang bahkan luka sebelumnya tak kunjung sembuh.
Mimik wajahku masih saja terlihat tegang saat mengingat tawa dan senyum-mu. Aku hanya tidak nyaman saat mengingat itu, dan parahnya semakin aku memaksa otakku berhenti mengingat, ia malah semakin membuatku mengingat yang lain!
Pikiranku terus saja melayangkan setiap momen, satu per satu bergilir bergantian. Seolah ingin membuatku terlihat berada dalam misere. Sungguh malangnya…

Setelah momen membahagiakan itu , tibalah otakku memutarkan bagian duka…
Saat kamu dengan mudahnya membuat semua begitu masa bodoh. Dimana saat itu aku hanya bisa menunggu untuk kamu tinggalkan.
Dan begitu bodohnya aku, masih saja menunggu. Seharusnya saat itu juga aku harus pergi tanpa kamu mengusir.
Aku terlalu menyayangkan indahmu. Indahmu, candu!
Kamu pergi begitu lekas, dan meninggalkan bekas.

Tapi dari semua itu, aku bisa mengetahui bahwa hidup hanyalah siklus. Suka dan duka.
Ada kalanya kita menjalani kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, yang perlu aku lakukan saat itu hanyalah menikmati dan bersyukur kepada Sang Maha Kuasa.
Dan saat duka datang, aku hanya perlu menyikapinya dengan dewasa. Sekalipun itu tidak mudah.

Karena Terlalu Takut

Tanpa kamu ketahui selalu ada sepasang mata yang terus saja melihatmu. Menunggu kamu melihatnya, sampai sang empunya tak tahu harus menunggu sampai kapan lagi.

Kamu masih saja sibuk dengan duniamu. Tanpa kamu tahu, dia terus mengharapkan masuk dalam duniamu, walau kamu menutupnya dengan rapat-rapat.

Mata itu terus mengawasi gerakmu, raut wajahmu, senyummu, dan segalanya yang ada pada kamu…

Pernah si empunya tertangkap basah menatap lekat-lekat tingkahmu. Saat kamu sadar bahwa ada yang melihat, tetapi buru-buru dia memalingkan wajahnya. Karena dia terlalu takut.

Jika saja kekasihmu tahu bahwa ada yang mengagumimu, dia takut di anggap rendah bahkan dia terlalu takut di anggap parasit dalam hubungan kalian. Padahal aku rasa, dia tidak bersalah. Dia hanya terjebak dalam keadaan yang menyulitkan perasaannya.

Seandainya dia bisa memutar balik-kan perasaan, pasti sudah dia buang jauh-jauh perasaan itu. Karena terlalu takut untuk di cela.

Teman-temanku bilang, sebaiknya kita tidak bersama. Karena mereka terlalu takut untuk melihat aku jatuh kesekian kalinya.

Ada Indah di Setiap Pindah

Opera Aksara

Waktu adalah hal yang bisa menyapu dan mengantar segalanya. Baik kenangan, maupun perasaan. Baik hal-hal buruk, maupun hal-hal baik. Baik awal maupun kesudahan. Hanya saja, tak banyak manusia yang mau merelakan sedikit detik lebih lama untuk berproses, untuk berani melangkahi sesuatu yang teramat dicintai. Untuk berpindah dari satu pijakan ke pijakan lain yang terasa begitu asing—tapi sesungguhnya adalah rumah yang seharusnya. Karena dalam hidup ini, manusia selalu butuh berpindah. Pindah dari hal-hal yang salah, pindah dari perasaan-perasaan yang keliru. Namun, untuk melakukannya diperlukan keteguhan, dan manusia terlalu tidak sabar menjalaninya; terlalu tidak berani memilihnya.

cover-dpn

Penulis:
Andi Gunawan – Disa Tannos – Falafu – Iyut SF – Lariza Oky Adisty – Lika Wangke – Raditya Nugie – Sammy Sumiarno

ISBN:
979-794-437-9 (10) / 978-979-794-437-7 (13)

Penerbit:
mediakita

Jumlah Halaman:
202 halaman

Sebuah buku kumpulan cerita tentang perpindahan-perpindahan yang tak dapat ditolak. Senang sekali saya bisa menerbitkan buku bersama tujuh penulis muda…

View original post 42 more words

Selimut

Opera Aksara

Tirai jendela hotel terbuka sebagian pada sore itu ketika selimut memandangiku. Seseorang pernah mengenakannya dalam tidur yang ganjil dan tak sadar apa yang ia tinggalkan di sana. Warnanya tak pernah seputih sebelum ia datang.

Di balik jendela, angin menari-nari minta dikenali. Pohon-pohon mengangguk meminta ihwal yang sama. Berpasang-pasang sepatu tak bisa mengikat talinya sendiri. Jendela akan tertutup lagi dan aku akan meninggalkan bekas di selimut yang mudah dicuci.

Di kotaku, jendela-jendela lebih jarang terbuka.

Makassar, 7 Juni 2014

View original post

Yang Selalu Mampir Pukul Satu Pagi

Opera Aksara

Sepasang mata dan bibir terkatup dalam lelap tidurmu ialah puisi yang selalu kubaca sebanyak keraguanmu akan kata-kataku yang terlanjur tumpah tentang usaha menjadi baik-baik saja.

Sementara hangat yang diam-diam kuhantarkan lewat peluk yang kucuri dari punggungmu selalu melahirkan pertanyaan yang sama; mengapa kita tak pernah lagi sama?

Kemudian pagi selalu menjadi perkara yang tak dapat ditunda, yang menerbitkan matahari di keningmu–penerang jalan menuju pulangmu yang tak sanggup kucegah sebab aku tak pernah terlahir sebagai rumah.

Terima kasih sudah mampir.

(2014)

View original post

Melamun

Opera Aksara

Apakah kau tak ingin menatapku seperti tatapan pertama kita yang canggung namun lekat?

Apakah kau tak ingin menciumku seperti ciuman pertama kita yang pemalu namun khidmat?

Apakah kau tak ingin memelukku seperti pelukan pertama kita yang gugup namun kuat?

Apakah kau tak ingin merindukanku seperti rindu pertama kita yang ganjil namun tepat?

Apakah kau tak ingin menanyakan pertanyaan yang sama kepadaku?

Yogyakarta, 2014

View original post

Kepada Tuan Penunggu

Opera Aksara

Hari itu aku datang terlambat dan kau masih di tempat. Tempat aku berjanji akan menemuimu.

Dalam perjalanan, aku memasrahkan diri jika kemudian hanya angin yang kutemui. Namun kau di sana, setia menungguku yang gemar tak menepati waktu. “Aku sudah terbiasa menunggu,” katamu. Aku tahu kau telah menunggu bertahun-tahun kesendirian hingga pertemuan pertama kita, ketidaksengajaan yang amat kusyukuri.

Melalui surat ini, izinkanlah aku berterima kasih karena telah kau curi waktuku yang sedikit ini dan menggantinya dengan kesenangan yang tak dapat dihitung.

Jika pada kemudian hari bukan aku yang kautemui dan itu membuatmu bersedih, ingatlah seseorang pernah begitu bahagia dalam kikuk jumpa pertamanya denganmu, aku. Jika pada kemudian hari tiada lagi yang kau tunggu sebab seseorang yang bukan aku telah membuatmu merasa utuh, ingatlah telah kurelakan kita sebagai singgahmu yang tak dapat kusanggah. Terima kasih sudah bersedia mengenalku di antara banyak kemungkinan yang lebih baik untukmu.

Kau dan aku saling tahu bahwa…

View original post 19 more words